Malam yang dingin. Kabut tebal mengungkung kota bersamaan dengan
turunnya rintik hujan yang malu-malu untuk menunjukkan kerumunannya. Jalanan
kota amatlah senggang. Hanya satu atau dua buah motor yang melintas. Mungkin
mereka punya sesuatu hal yang amat penting sehingga ‘terpaksa’ untuk keluar.
Malam ini begitu mistis, begitu dingin, begitu mencekam, semuanya serba begitu.
Berbeda dengan gadis kecil itu, Melati. Ia tidak jera dengan semua
itu. Ia tidak takut. Adiknya yang menghapuskan semua rasa takutnya. Sedari
tadi, gadis itu tak pernah mengurungkan niatnya untuk meminta bantuan kepada
Bibi Rita, adiknya kambuh lagi.
Gemeletuk rahangnya mungkin sudah terdengar. Tak lama akhirnya pintu
itu terbuka, untuk Melati.
“Ada apa Melati?” ucap Bibinya itu
“Dede, Bi, Dede kambuh lagi”
“Ya Tuhan, tunggu sebentar Bibi ambil sweater dulu”
Tak lama Bibinya siap dengan sweater ungu miliknya. Mereka bergegas
menuju rumah Melati. Kalau bicara tentang rumahnya, mungkin tak lebih baik dari
gubug. Rumah itu terbuat dari bambu. Rumah Melati itu adalah hasil swadaya dari
warga sekitar.
Bibi terkejut melihat keadaan Dede. Darah keluar lagi dari mulutnya.
Sudah satu tahun terakhir ini Dede sakit parah. Melati tak sanggup membawa Dede
ke dokter. Ia hanya bisa meminta Bibi membelikan obat warung untuk Dede.
“Melati, Dede harus dibawa ke rumah sakit nak”
“Tetapi bagaimana dengan biayanya nanti Bi”
“Bibi akan usahakan nak” Bibi Rita menelan ludah. Bagaimana tidak?
Keadaan ekonominya pun tak jauh lebih baik dari Melati. Mungkin karena Bibi
Rita bisa mencari nafkah sendiri, Bibi Rita punya uang lebih juga untuk
mengurus kebutuhan lain Melati dan Dede.
Malam itu juga Dede dibawa ke rumah sakit. Dengan motor butut Bibi
Rita mereka menuju rumah sakit yang tak jauh dari kampung mereka. Sepanjang
jalan Melati tak henti-hentinya menangis. Ia menangisi keadaan Dede. Ia takut
Dede kenapa-napa dan Dede meninggalkannya sendirian di dunia.
Mereka sampai 15 menit kemudian. Dengan cepat suster membawa Dede
dengan kursi roda ke dalam ruangan dokter. Melati dan Bibi mengikuti dari
belakang. Dede diperiksa. Melati menunggu cemas. Bibi pun sama.
“Bisa saya bicara dengan keluarganya?” ucap dokter yang menangani Dede
tadi.
“Saya Bibinya” kemudian dokter berbaju putih itu mengajak Bibi ke
ruangannya. Melati menunggu diluar. “Sebenarnya Dede sakit apa dokter?”
“Penyakitnya sudah sangat parah bu, ia terkena sirosis hati”
“Ya Tuhan, lalu apa yang bisa membuatnya sembuh?”
“Hanya dengan donor hati”
“Lakukan apapun dokter”
“Baiklah saya akan mengusahakannya”
---
Sudah tiga hari Dede dirawat di rumah sakit. Keadaannya bahkan tidak
semakin membaik. Darah semakin banyak keluar dari mulutnya. Melati bahkan tak
henti-hentinya menangisi keadaan Dede.
“Maaf Bu, bisa saya bicara dengan Ibu?” ucap seorang suster kepada
Bibi Rita
Bibi Rita mengikuti suster keluar ruangan. “Ada apa suster?”
“Maaf bu, kami kehabisan stok pendonor hati untuk Dede”
“Apa? Tidak ada yang lain suster?”
“Tidak bu, kami sudah cek ke rumah sakit pusat juga”
“Ya Tuhan!”
Tidak disangka percakapan itu didengar Melati. Ia shock mendengar keadaan Dede yang sebenarnya. Hatinya tergerak. Ia
merasakan hal yang berbeda setelah mendengar semua itu.
Dua hari kemudian. Keadaan Dede turun drastis. Dede koma! Melati menangis
histeris melihat keadaan adiknya itu. Dengan suara bergetar Melati bicara
kepada Bibinya:
“Bi, Melati ingin mendonorkan hati untuk Dede”
“Tidak!! Tidak Melati!”
“Melati mohon Bi!”
“Tidak Melati!!!” Melati tertunduk lesu. Ia kecewa. Sesaat kemudian,
Melati meninggalkan Bibinya di ruang ICU, ingin melihat rumah pamitnya kepada
Bibi.
---
“Bu, Dede sudah bisa di operasi sekarang, kami sudah mendapatkan hati
yang cocok untuk Dede”
“Siapa pendonornya?”
“Ia berpesan agar kami memberitahukan pendonornya setelah operasi Bu”
“Baiklah dokter, lakukan saja”
Satu jam. Dua jam. Tiga jam. Operasi itu berjalan begitu lama. Dokter
harus menyatukan ribuan sel hati ‘sang
pendonor’ itu di hati Dede yang sudah diangkat.
Cklek! Suara pintu ruang
operasi terbuka juga. Bibi segera menoleh.
“Bagaimana dokter keadaan Dede?”
“Keadaannya sudah stabil, untung saja pendonor itu segera datang”
“Siapa pendonor itu dokter?”
“Anak kecil berambut panjang, ia menitipkan surat ini kepada saya”
Bibi Rita membaca surat itu
‘Bi, ini Melati, maaf
melati nakal mendonorkan hati Melati tanpa seijin Bibi, tetapi Melati sudah
tidak kuat Bi melihat Dede setiap hari kesakitan. Melati sudah bicara kepada
Abah dan Emak di surga, mereka menyetujuinya. Maaf Bi, Melati merepotkan Bibi
tetapi tolong jaga Dede ya Bi, terimakasih. Salam sayang, Melati’
Air mata Bibi berlinangan. “MELATIIIIIIIIIIII!!!!” teriaknya, ia
terkejut sangat terkejut dengan keputusan Melati yang sangat berani bagi gadis
kecil seusianya.
---
Melati telah bertemu Abah dan Emak. Kerinduannya kepada orang tuanya
itu telah terobati. Melati bertemu mereka di surga, ditempat paling indah di
sisi Tuhan.
Bibi Rita sangat menyesali keteledorannya. Tetapi ia sangatlah
bersyukur telah menjadi bagian dari hidup Melati. Gadis yang jujur dan suci.
Bibi Rita akan selalu melakukan hal terakhir yang diminta Melati. Bibi Rita
akan selalu menjaga anak laki-laki 5 tahun itu, Dede. Ia akan selalu
menjaganya.
Gadis kecil itu bahkan tahu artinya kesucian hati. Tak pernah
dipikirkannya hal yang muluk-muluk
keinginannya telah tercapai. Melati dengan hatinya yang suci yang kini tumbuh
dan menyatu di dalam tubuh Dede, akan selalu tersenyum melihat adik yang sangat
disayanginya itu. Dari surga, bersama Abah dan Emak.
Tamat