Jumat, 18 Januari 2013

Di doa Ibuku

Di waktu ku masih kecil
Gembira dan senang
Tiada duka ku kenang
Tak kunjung mengerang
Di sore hari yang sepi
Ibuku bertelut
Sujud berdoa ku dengar
Namaku disebut

Di doa ibuku
Namaku disebut
Di doa ibuku dengar
Ada namaku disebut

Seringlah kini ku kenang
Di masa yang berat
Di kala hidup mendesak
Dan nyaris ku sesat
Melintas gambar ibuku
Sewaktu betelut
Kembali sayup kudengar
Namaku disebut

Di doa ibuku
Namaku disebut
Di doa ibuku dengar
Ada namaku disebut

Sekarang dia telah pergi
Ke rumah yang senang
Namun kasihnya padaku
Selalu ku kenang
Kelak di sana kami pun
Bersama bertelut
Kembali sayup kudengar
Namaku disebut

Di doa ibuku
Namaku disebut
Di doa ibuku dengar
Ada namaku disebut
Di doa ibuku dengar
Ada namaku disebut

Mean


halah kau tak akan bisa meraih mimpimu yang ketinggian itu!!lihatlah kau hanyalah seorang kasir!!”
“jangan harap kau bisa seperti kami!!”
Aku memang menyadari aku hanyalah seorang kasir. Aku hanya bisa mendesah pelan menanggapi Mahasiswa yang selalu membullyku. Kuanggap perkataan mereka seperti angin lalu.
“berapa jadinya semuanya?” ucap Mahasiswa selagi akan membayar makanannya
“20$” ucapku
“ohh” ia mengeluarkan uangnya dengan gampang seperti hal yang sangat mudah didapat. Bagiku 20$ adalah jumlah yang sangat banyak.
Aku pulang malam harinya. Tak lupa kutabung uang harianku di tabungan yang aku khususkan untuk kuliah. Aku ingin seperti Mahasiswa-Mahasiswa itu. Aku terbayang bagaimana nantinya aku memakai jas universitas. Pasti orang tuaku disurga akan tersenyum.
***
Sekian lama aku menabung, menabung, dan menabung, akhirnya aku menuai hasil. Aku telah bisa menggunakan uangku untuk masuk ke universitas. Kusiapkan semuanya, hari ini aku telah berniat untuk mendaftarkan diri menjadi seorang Mahasiswa. Aku tersenyum lebar di sepanjang jalan. Rasanya aku tak sabar lagi. Namun ciiiiiiiiiiiiitttt!!! Sebuah mobil berhenti tepat di depanku. Mahasiswa itu!
“diam kau Jane!!” mereka datang menghampiriku. Mereka mengambil tasku dan uangku diambilnya. Hilanglah sudah semua penantianku selama ini. Aku terduduk di sekitar lingkungan universitas. Menangis. Hancur. Itu yang kurasakan sekarang.
Tiba-tiba seseorang menghampiriku “ada apa?” kuceritakan semuanya padanya.
***
Hidupku berubah 180°. Ia seperti Malaikat yang menyelamatkanku. Aku bisa meraih cita-citaku sekarang. Grace, ia adalah Mahasiswi, ia anak seorang dosen di universitas. Setelah ia mendengarkan ceritaku, ia mengajukanku untuk menjadi Mahasiswi di sini. Aku menempuh banyak test dan akhirnya aku bisa melewatinya dengan nilai yang sempurna. Terimakasih Tuhan.
Sekarang semua orang yang membullyku dulu telah berubah. Mereka tak lagi berani menghinaku. Tuhan memang Maha adil J

When the Moonlight Shines


“When the moonlight shines, and all of stars smiling, now the time has come……”
Bulan tak segan-segan menampakkan keindahannya dengan sempurna. Bintang tak bosan-bosan mendampingi bulan untuk memperindah lukisan awan. Angin malam berhembus pelan. Kabut tebal perlahan turun menyelimuti bumi. Seiring turunnya kabut, terdengar suara lenguhan anjing di luar sana.
“malam yang seram” gumamku. Kututup jendela kamarku. Perlahan aku duduk di samping ranjangku. ‘aku merasa sesuatu yang janggal dengan hari ini’ gumamku dalam hati. Memang malam ini berbeda. Sangat berbeda. Dari malam-malam sebelumnya. Mencekam. Seram. Dingin. Horror. Nyata. Itu semua mungkin yang tergambar di benakku.
Aku teringat sesuatu. Tugas-tugasku. Aku melupakan mereka. Ugh. Aku mendesah pelan ketika melihat tumpukan tugas di meja. Kukerjakan satu-persatu. Ketika aku membuka buku yang bersampul merah, aku mengerenyit ‘buku apa ini?’ gumamku. Kulihat. Buku itu adalah buku mata pelajaran mitologi. Pelajaran favoritku.
Iseng-iseng aku mencari tentang mitologi dewa-dewi romawi kuno di internet. “Aurora (Eos) Dewi Fajar, Aphrodite Dewi Cinta dan Kasih Sayang, Justin Dewa Keindahan” gumamku sambil membaca artikel tersebut. Justin? Sepertinya aku belum pernah membaca nama itu. Entahlah. Aku melupakannya sebagai angin lalu.
Ku rebahkan badanku diranjangku yang kecil. Aku terus saja memikirkan nama Dewa itu. Aku belum pernah membacanya. Aku masih memikirkannya hingga mataku tertutup.
************
Tengah malam aku terbangun. Karena aku bermimpi buruk. Aku bermimpi tersesat di peradaban kuno manusia masa lalu dan aku bertemu dengan seorang pemuda yang kira-kira berusia 18 tahun. Ia bernama Justin. Wajahnya terngiang-ngiang jelas di pikiranku.
Nafasku masih tersengal-sengal. Aku berjalan mendekati meja belajarku. Aku meminum segelas air yang berada disana. Hembusan angin kurasakan di sekitar tubuhku. Kubuka jendela kamarku. Bulan tepat berada di atasku menunjukkan wajahnya yang paling sempurna diantara bintang-bintang. Kulihat siluet yang lama kelamaan semakin nyata. Siluet itu seperti siluet seseorang. Seharusnya saat ini semua orang telah tidur.
Siluet itu lama kelamaan semakin terbentuk jelas. Seorang pemuda sedang berdiri di seberang jalan sana. Aku menatapnya. Ia juga membalas tatapanku. Ia tersenyum padaku. Aku juga tersenyum padanya. Entah aku seperti terhipnotis dengan tatapannya yang teduh. Sangat teduh. 1 menit. 2 menit. 3 menit berlalu. Ia masih di seberang sana. Ia seperti mengatakan padaku ‘tidurlah’ aku hanya tersenyum dan menutup lagi jendelaku. Aku melanjutkan tidurku lagi.
Keesokan harinya.
Aku masih sangat penasaran dengan sosok pemuda misterius tersebut. Sepertinya dia bukan penduduk kota ini. Ah sudahlah.
Saat aku di sekolah, aku merasa seseorang mengikutiku. Ia selalu membuat bulu kudukku berdiri. Beberapa kali aku mengalami hal aneh di kelas. Seperti tiba-tiba aku melihat pemuda itu di luar kelas dan ia tersenyum lagi padaku. Aku hanya membalas senyumnya. Setelah itu ia pergi lagi.
Sore ini aku termenung di kamar. Aku masih sangat penasaran dengan sosok pemuda itu. Bagaimana ia bisa tahu semua tentangku. Ia selalu mengikutiku kemanapun aku pergi. Bagaimana bisa?
Hembusan angin kurasakan menerpa tubuhku. Entah dorongan dari mana, aku ingin sekali pergi ke seberang jalan itu. Aku sangat penasaran dengan pemuda itu. Saat aku kesana, ya memang benar. Aku melihat pemuda itu di taman. Sendirian.
“hey” sapaku kepadanya. Ia menoleh. Menatapku.
Ia tersenyum padaku. Wajahnya begitu indah. Ia sangat berbeda dari kebanyakan pemuda. Ia seperti memiliki sesuatu yang sangat spesial yang tidak pernah dimiliki oleh pemuda lainnya. Aku terhipnotis.
“ya” balasnya. Aku duduk di sampingnya. Ia menggeser sedikit duduknya untukku.
“kau siapa?” tanyaku. Aku sangat hati-hati. Aku tak ingin dia tersinggung.
“perkenalkan namaku justin, justin bieber”
Aku sedikit tersentak dengan nama justin “namaku carol. Justin, kenapa kau semalam berjalan-jalan di luar?”
“aku hanya ingin melihat keindahan kota ini, aku tak sangka bisa bertemu bidadari sepertimu” aku tersipu malu dengan kata-katanya.
**************
Justin. Dia pemuda yang baik. Dia pemuda yang jujur. Meskipun beberapa kali aku sedikit merasa aneh dengan tingkahnya. Ia tahu tentang masa laluku. Ia juga tahu tentang apa yang akan terjadi denganku. Seperti minggu lalu, justin tak sengaja bilang bahwa akan ada seorang pria yang menyatakan cintanya padaku. Dan itu terjadi. Seseorang menyatakan cintanya padaku. Namun aku menolaknya.
Aku sangat merasa nyaman ketika bersama justin. Ia berbakat dalam membuat lelucon. Tanpa kusadari, lama kelamaan aku mulai jatuh cinta kepadanya. Padahal aku baru mengenalnya sekitar 7 hari.
Malam ini. Bulan tak menunjukkan lengkungannya. Namun, ia juga tak menunjukkan wajah sempurnanya. Hanya bintang-bintang yang menjadi fokusnya. Tiba-tiba justin melintas di pikiranku. Aku terpikir. Sedang apa dia. Bagaimana kabarnya. Kurasa aku rindu padanya. Padahal, kami baru berpisah sekitar dua jam yang lalu. Ia pernah bilang ketika aku rindu padanya, aku bisa memanggil namanya dan aku bisa merasakan kedatangannya. Namun entahlah. Mungkin aku akan mencobanya.
“justin…” desisku. Kurasakan hembusan angin yang sejuk menerpa seluruh wajahku. Aku memejamkan mataku sejenak. Kubuka jendela kamarku. Dan kulihat justin berada di seberang jalan sana. Kami telah memiliki cara untuk berkomunikasi. Justin telah membawa kertas dan pena untuk menulis apa yang dipikirkannya. Dan aku telah membawa kertasku sendiri.
Aku menulis di kertasku ‘aku rindu denganmu’ ia terlihat tersenyum ‘aku tahu itu. Aku juga rindu denganmu’ aku tersenyum. Jantungku berdetak lebih kencang. Adrenalinku terpacu hanya dengan kalimat itu. ‘apa kau tak belajar?’ tanyanya lagi ‘aku sudah selesai belajar, bagaimana denganmu?’ ‘tentu aku sudah mengerjakan semua tugasku’ ‘baiklah, yasudah aku tidur dulu ya’ ‘iya good night :*’
Aku tak tahu apa yang kurasakan sekarang. Aku begitu senang. Begitu malu. Semuanya serba begitu.
********
Hari ini hari ke-14 aku bertemu dengan sosok justin. Teman baruku. Malam ini, udara begitu sejuk. Aku ingin menghabiskan malam ini dengan bersantai. Bulan hampir bulat sepenuhnya. Bintang pun senantiasa bersinar menemani sang raja malam yang sinarnya lebih redup dari hari biasanya.
Tok!tok!tok! Ketukan jendela membuatku terbangun dari tidurku. Aku membuka jendelaku. Justin?
“justin?”
“yah”
“ada apa just? Tak biasanya kau disini”
“ya tentu ada yang ingin aku bicarakan denganmu”
“aku tak tahu apa yang kurasakan sekarang ini, aku selalu merasa senang ketika bersamamu. Aku selalu memikirkanmu. Aku selalu ingin bersamamu. Apa kau juga merasakan hal yang sama denganku?”
“yah!!aku juga just. Kurasa aku…mencintaimu”
“kurasa akupun begitu. Namun, aku tak bisa”
“kenapa?”
“ada satu hal yang tak kau ketahui”
“apa just?”
“kau akan tahu besok”
“kenapa besok?”
“kuharap kau besok membuka jendelamu ketika pukul 12 malam. Aku ingin berbicara denganmu”
“baiklah”
“yasudah, segeralah tidur, kau pasti lelah, maafkan aku mengganggumu, good night” ia mencium keningku. Dan ia segera lenyap dari pandanganku.
Hari berikutnya.
Aku menuruti permintaan justin. Meskipun mataku sangat berat. Aku menunggu jam 12. Seharian ini justin tak pernah sedikitpun pergi dari sisiku. Ia berbeda dari biasanya.
Jam 12…
Siluet itu datang lagi. Seperti yang kulihat dulu. Angin berhembus kencang. Siluet itu lama kelamaan semakin nyata. Aku memejamkan mataku. Selang beberapa saat aku membuka mataku. Justin telah berdiri di depan jendelaku.
“carol.”
“ya just”
“sebelumnya maafkan aku. Aku tak memberitahukan siapa aku sebenarnya”
“memang kau siapa?”
“aku datang untuk menjawab kebingunganmu terhadap Dewa Justin, Dewa Keindahan”
“m…maksudmu?”
“ya. Aku adalah seorang dewa yang diutus Tuhan untuk menjawab pertanyaanmu. Sekarang pertanyaan itu telah terjawab. Soal perasaan itu. Aku tak pernah bisa berbohong. Aku tak bisa memungkiri bahwa aku memang benar-benar mencintaimu.”
“kenapa kau tak bilang dari awal?”
“aku yakin kau pasti takut denganku. Carol, sekarang sudah waktunya. Bulan purnama telah tiba. Aku harus pergi”
“tapi bagaimana kalau aku ingin bertemu denganmu?”
“setiap bulan purnama tiba, sebutlah namaku. Aku akan datang di mimpimu. Maafkan aku carol. Aku harus pergi. Ini bukan duniaku. Aku mencintaimu carol…”
Bshh ia menghilang. Ia menghilang dengan semua kebingungan yang ia buat. Aku tertahan di depan jendela. Separuh hidupku pergi. Semuanya pergi. Tak akan ada lagi yang bisa kujadikan sandaran ketika aku menangis. Tak akan ada lagi yang bisa kujadikan tempat untuk mencurahkan semua isi hati. Tak akan ada lagi bulan di hidupku. Bulan yang selalu membuatku nyaman. Bulan yang selalu membuatku tersenyum.
Hari hari berikutnya, justin selalu mendatangi mimpiku. Tak hanya saat purnama tiba. Kurasa ia ingin membuktikan cintanya padaku. Aku akan selalu mengingat kata-kata yang selalu ia ucapkan di dalam mimpi ‘Aku Mencintaimu Carol…’

“When the moonlight shines. And all of stars smiling. Now the time has come. You leave me all behind.
I’m not feeling fine. I’m feeling down. When the moonlight shines. With his pearly smile
I think is very funny. How does life could be? Once you appear with a grin
And now you really left me. With no one to hold me. As time goes by I will drown”

The End